
Oleh : Abdul Salam Ahmad
Keputusan KPU untuk membatalkan aturan yang merahasiakan ijazah calon presiden dan wakil presiden adalah sebuah langkah progresif yang tidak hanya bermanfaat bagi publik, tetapi juga memperkuat fungsi Bawaslu sebagai pengawas pemilu. Langkah ini mengubah sebuah dokumen yang berpotensi menjadi sumber keraguan menjadi alat vital dalam pengawasan yang efektif.
Sebelumnya, status ijazah sebagai dokumen rahasia bisa menjadi hambatan tersendiri bagi Bawaslu. Mereka mungkin harus menghadapi batasan birokrasi atau celah hukum untuk memeriksa keabsahan dokumen tersebut jika ada dugaan pelanggaran. Hal ini membuat pengawasan menjadi reaktif dan sering kali terhambat oleh proses yang rumit. Kerahasiaan ini secara tidak langsung melemahkan upaya Bawaslu untuk memastikan bahwa semua calon memenuhi syarat secara jujur.

Dengan ijazah kini menjadi dokumen publik, Bawaslu mendapatkan sebuah senjata baru yang sangat kuat. Mereka dapat secara proaktif memantau dan memverifikasi kualifikasi calon dengan lebih mudah. Jika ada informasi atau laporan masyarakat terkait dugaan pemalsuan ijazah, Bawaslu tidak lagi perlu melewati prosedur yang panjang untuk meminta dokumen; informasi tersebut sudah tersedia secara terbuka. Ini memungkinkan Bawaslu untuk bergerak cepat dan memastikan bahwa integritas pemilu tidak ternodai oleh kandidat yang tidak jujur.
Secara lebih luas, kebijakan ini menunjukkan sinergi yang positif antara dua lembaga penyelenggara pemilu. KPU bertugas membuat aturan yang mendorong keterbukaan, sementara Bawaslu memanfaatkan keterbukaan itu untuk melakukan pengawasan yang lebih kuat. Keduanya bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pemilu yang transparan dan akuntabel. Ini adalah demonstrasi nyata bahwa kolaborasi antarlembaga adalah kunci untuk membangun sistem demokrasi yang sehat dan tepercaya, di mana pengawasan bukan lagi tugas yang sulit, melainkan sebuah proses yang didukung oleh transparansi.